My IELTS Story - Mengenal Lebih Dekat Tentang IELTS

Bagi mereka yang memiliki mimpi untuk melanjutkan studi ke luar negeri, sertifikat kemampuan bahasa asing adalah dokumen wajib yang kadang menjadi momok dan hambatan terbesar. Hal tersebut menjadi wajar, karena belajar di negeri orang juga berarti mengikuti aturan main yang berlaku di negara tujuan, termasuk menguasai bahasa mereka terutama bahasa Inggris. Namun demikian, sertifikat bahasa asing memang harus dimiliki karena untuk mendapatkan Letter of Acceptance (LoA) kampus tujuan dan melamar beasiswa pasti mewajibkan pelamarnya memiliki sertifikat kemampuan bahasa asing. Dengan kata lain, sertifikat penguasaan bahasa tidak bisa ditawar-tawar.

Bahasa Inggris adalah bahasa yang paling umum digunakan di universitas luar negeri, baik di English-speaking Country maupun di negara lain yang tidak berbahasa Inggris namun dalam pembelajarannya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Oleh karenanya, English Proficiency Certificate adalah sertifikat bahasa asing yang paling umum "diburu" para scholarship hunters. Dari semua tes bahasa Inggris, yang paling populer adalah IELTS dan TOEFL. Kedua jenis tes ini umumnya berlaku universal atau dapat digunakan untuk berburu LoA ke negara manapun yang mensyaratkan penguasaan bahasa Inggris sebagai admittance requirement-nya, walaupun beberapa sponsor beasiswa kadang mewajibkan IELTS atau TOEFL dalam proses seleksinya.

Umumnya (tapi tidak selalu), bagi mereka yang ingin melanjutkan studi ke United Kingdom (Inggris, Skotlandia, Wales dan Irlandia Utara) atau negara persemakmuran Inggris (seperti Australia) menggunakan sertifikat IELTS. IELTS sendiri dikelola oleh Cambridge Assesment, British Council, dan IDP. Perlu diketahui bahwa IELTS terdiri dari dua jenis tes, yaitu Academic dan General Training. Perbedaan mendasar keduanya terletak pada tujuan kita ke luar negeri. Jika kita hendak ke luar negeri untuk tujuan bekerja, atau kegiatan lain dalam konteks sosial dan praktikal yang tidak memerlukan penggunaan bahasa yang lebih teknikal dan kompleks, maka IELTS General Training adalah pilihan. Namun, jika tujuan kita adalah melanjutkan studi terutama pada level postgraduate atau untuk tujuan pembelajaran yang mensyaratkan pemahaman bahasa yang lebih teknikal dan kompleks, maka pilihannya adalah Academic Module. Karena saya ingin melanjutkan studi master ke UK, maka pilihan saya adalah IELTS Academic.

Apa itu IELTS?
IELTS (International English Language Testing System) sendiri adalah tes yang bertujuan mengukur kemampuan berbahasa Inggris seseorang melalui 4 skill dasar yaitu Listening, Reading, Writing, dan Speaking. Semua komponen kemampuan berbahasa masing-masing akan dinilai dan diberi skor dari 0 sampai 9. Setelah itu, keempat nilai akan dirata-ratakan sehingga didapatkan nilai keseluruhan yang juga terdiri dari rentang 0 sampai 9. Perbedaan dari tes IELTS Academic dan General Training terletak pada Reading dan Writing di mana pada IELTS Academic kedua komponen tersebut akan memiliki kompleksitas yang lebih tinggi dan lebih teknikal dibanding IELTS General Training.

Listening
Tes yang paling pertama dari IELTS adalah Listening. Bagian ini terdiri dari 4 section di mana tingkat kesulitan akan makin bertambah tiap sectionnya. Tiap section terdiri dari 10 soal sehingga totalnya adalah 40 soal yang dikerjakan dalam waktu sekitar 15 menit. Tiap soal hanya diperdengarkan sekali dan tidak akan diulangi. Jadi jika sudah lewat, there is no point of turning back. Namun setelah semua soal selesai diperdengarkan kita akan diberi waktu 10 menit untuk menyelesaikan soal-soal yang diberikan. Jadi jika ada soal yang terlewat, those last 10 minutes are your last bullets. Esensi dari listening ini adalah bagaimana kita dapat memahami percakapan atau monolog dari berbagai aksen termasuk British, Amerika atau Australia. Saya sendiri berlatih menggunakan aplikasi BBC Learning English yang menurut saya sangat membantu. Selain itu, saya sering menonton ulang film barat namun subtitlenya saya hilangkan. Saya sering menonton ulang film superhero Marvel karena di situ terdapat banyak artis dengan aksen-aksen yang berbeda. Chris Evans, Anthony Mackie atau Robert Downey Jr dengan aksen Amerikanya. Hayley Atwell, Tom Holland, Tom Hiddlestone, atau Benedict Cumberbatch dengan aksen Britishnya. Juga Chris Hemsworth dan Hugh Jackman dengan logat kental khas aksen Australia. Film-film seperti Harry Potter atau Sherlock Holmers juga sangat bagus untuk membiasakan diri dengan aksen British yang elegan dan klasik.

Reading
Bagian kedua adalah reading. Part ini juga terdiri dari  40 soal yang terbagi dalam 3 reading passage dengan tingkat kesulitan akan semakin berkembang dari reading passage 1 ke 3. Soal reading IELTS sangat variatif mulai dari mecocokkan, isian, pilihan ganda, mencari ide pokok, mengisi summary serta memilih pernyataan apakah True, False, atau Not Given (atau Yes, No, dan Not Given) yang harus diselesaikan dalam waktu 60 menit. Tidak ada penambahan waktu untuk menulis jawaban pada part ini seperti pada bagian listening. Sayangnya soal pilihan ganda hanya beberapa nomor saja, sehingga kita tidak bisa "menembak" opsi jika kita sama sekali tidak mengetahui jawaban pertanyaannya pada sebagian besar soal. Inilah salah satu komponen yang membedakan IELTS dengan TOEFL. Part ini menguji kita bagaimana memahami bacaan dan menemukan informasi secara cepat dan efektif melalui skimming atau scanning. Salah satu ciri dari Reading IELTS menurut saya adalah parafrase. Soal IELTS sering menggunakan kata-kata dan bahasa yang berbeda dengan yang terdapat pada reading passage tapi maknanya sama. Hal ini dimaksudkan untuk menguji kemampuan kita memahami bacaan termasuk di dalamnya kosakata dan grammar. Untuk menghadapi bagian ini, saya memperbanyak membaca buku, literatur, dan jurnal ilmiah berbahasa Inggris karena bacaan tersebut bersifat lebih teknikal dan kompleks dibanding bacaan populer pada umumnya.

Writing
Menurut saya sendiri dan bahkan sebagian besar orang yang pernah tes IELTS, bagian ini adalah yang paling tricky. Hal ini karena pada writing IELTS, kita tidak hanya sembarang menulis apalagi pada Academic module. Bagian ini menuntut bagaimana kita bisa menyampaikan suatu informasi secara terstruktur, padat, dan tidak hanya menggunakan bahasa yang monoton dan kosakata sederhana. Sedangkan sebagian besar orang Indonesia menurut saya tidak terbiasa menulis apalagi dengan academic writing. Pada writing IELTS kita dituntut dapat menulis dengan kalimat yang idenya terhubung dengan baik (coherence and cohesion) dan bukan hanya menulis sekumpulan kalimat saja. Selain itu, untuk mendapat nilai yang baik pada part ini kita dituntut dapat menulis kalimat-kalimat kompleks dengan kata-kata yang tidak hanya itu-itu saja (lexical resources). Kita juga harus memiliki kemampuan parafrase yang baik.

Bagian ini terdiri dari dua bagian yaitu Part 1 (20 menit) dan Part 2 (40 menit) dengan nilai part 2 adalah dua kali lebih banyak daripada nilai writing part 1. Pada Part 1 kita disuguhkan informasi dalam bentuk tabel atau diagram dan kita diharuskan menyampaikan informasi tersebut ke dalam bentuk tulisan minimal 150 kata dalam 20 menit. Di sisi lain, writing Part 2 menyuguhkan kita sebuah teks dan kita diminta untuk menanggapi ide tersebut, apakah kita setuju atau tidak, serta menyertakan bukti-bukti terhadap argumen kita. Bagian ini dikerjakan dalam waktu 40 menit dan kita diharuskan menulis minimal 250 kata. Perlu diketahui bahwa pada writing IELTS, peserta tes betul-betul menulis tangan dengan menggunakan pensil sehingga kejelasan penulisan perlu diperhatikan.

Speaking
Bagian ini adalah bagian terakhir dari serangkaian tes IELTS. Pada part ini kita akan benar-benar berbicara dan berkomunikasi dua arah dalam bahasa Inggris dengan seorang penguji yang adalah native speaker alias bule yang first languagenya adalah bahasa Inggris. Tes ini terdiri dari 3 part yang keseluruhannya dapat berjalan selama kurang lebih 15 menit. Pada part 1 kita akan berbincang-bincang mengenai topik-topik umum seperti nama, pekerjaan, riwayat pekerjaan atau studi. Pada Part 2 kita akan diberikan selembar kertas betuliskan sebuah informasi yang meminta kita itu untuk menjelaskan sesuatu. Setelah itu kita akan diberikan waktu 1 menit untuk mempersiapkan apa yang akan kita bicarakan lalu kemudian kita diberikan sekitar 2 menit untuk "berpidato" mengenai apa yang sudah diisntruksikan sebelumnya. Lalu part 3 kita akan masuk pada deep conversation yang masih ada hubungannya dengan topik dari part 2.

Pada bagian ini untuk mendapat nilai yang baik, kita diharuskan dapat berbicara secara fluent dan minim self-correcting serta bagaimana menyampaikan informasi secara terstruktur dengan bahasa yang tidak monoton dan memiliki perbendaharaan kosakata yang baik. Jika kita mampu berbicara dengan kalimat yang kompleks tanpa terbata-bata maka kita juga akan mendapat penilaian yang bagus.

Inti dari menghadapi tes IELTS adalah persiapan. Selain karena tesnya lumayan rumit, biayanya juga mahal yaitu sekitar 215 USD atau hampir 3 juta untuk sekali tes dan sertifikat tes hanya berlaku 2 tahun. Sehingga saya menyarakankan sebelum mengambil tes IELTS harus sudah disertai dengan persiapan dan planning yang matang apalagi jika hanya memilki budget terbatas seperti saya. Kebutuhan terhadap kursus IELTS menurut saya tergantung kapasitas masing-masing orang. Jika orang itu sudah terbiasa dengan literatur bahasa Inggris dan pada dasarnya memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik, maka bisa saja tidak perlu mengambil kelas persiapan IELTS. Tapi kembali lagi ke bagaimana kita mengenal kemampuan pribadi kita.

Saya sendiri belajar otodidak selama sebulan lebih sebelum mengambil tes IELTS. Untuk belajar dan mempersiapkan diri menghadapi IELTS saya menyarankan untuk menggunakan buku The Official Cambridge Guide to IELTS yang diterbitkan Cambridge University Press serta buku Cambridge IELTS Series. Menurut saya sendiri buku-buku tersebut sudah sangat representatif terhadap soal asli IELTS. Selain itu, dalam mempersiapkan tes akan lebih baik jika kita memiliki partner untuk menilai speking kita atau orang yang dapat menjadi proofreader untuk sampel-sampel tulisan kita.

At the end, dare to dream means dare to take action. Hope this writing will help those who are in the middle or about to start their journey abroad.

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

A passionate medical doctor aiming to become forefront in medical practice, research and education.This blog is inteded to be a platform to share the beautiful and unforgetable journey in pursuing higher education abroad.

0 comments:

Post a Comment