Fistra Janrio`s Self Discovery

where I keep and share my stories and insights on the journey of pursuing higher education abroad

  • Home
Home Archive for August 2019
Tes bahasa adalah syarat mutlak jika seseorang ingin melanjutkan sekolah atau bekerja di luar negeri. Tes ini sendiri bertujuan untuk menjadi standarisasi untuk mengetahui apakah kita memenuhi kriteria minimal penguasaan bahasa untuk menghadapi tuntutan pendidikan atau pekerjaan di luar negeri. Ada banyak ujian bahasa, tetapi yang paling umum tentu saja adalah bahasa Inggris.

Tes bahasa Inggris sendiri terdiri dari beberapa jenis. Tetapi perlu digaris bawahi bahwa tidak semua tes bahasa Inggris diakui secara internasional. Secara umum, berdasarkan pengalaman saya, tes bahasa Inggris yang diterima oleh hampir seluruh institusi pendidikan di luar negeri yang mensyaratkan penguasaan bahasa Inggris adalah IELTS Academic, TOEFL iBT, dan PTE Academic (Pearson Test of English Academic). Di Indonesia sendiri PTE Academic kurang populer dibanding IELTS dan TOEFL. Selain itu ,setahu saya, tidak ada lembaga penyedia tes PTE Academic di Indonesia. Perlu juga diketahui bahwa terdapat tes bahasa Inggris lain seperti TOEFL ITP dan TOEIC (Test of English for International Communication). Namun, kedua tes tersebut tidak berlaku universal dan tidak dapat digunakan untuk mendaftar studi ke institusi luar negeri.

Pilihan yang paling masuk akal tentu saja adalah IELTS Academic dan TOEFL iBT. Sebenarnya kedua tes ini dari segi biaya dan komponen penilaian cukup identik dan diterima di hampir seluruh institusi pendidikan di berbagai negara. Namun tentu saja ada beberapa perbedaan yang dapat dijadikan acuan untuk mencondongkan pilihan ke salah satunya, yaitu antara lain:
Pengelola
IELTS (International English Language Testing System) dikembangkan dan dikelola bersama oleh Cambridge Assesment, British Council, dan IDP Education Australia sedangkan TOEFL (Test of English as Foreign Language) dikelola oleh Education Testing System (ETS) dari Amerika Serikat. Oleh karena itu, perbedaan mendasar dari IELTS dan TOEFL adalah jenis bahasa Inggris yang digunakan. IELTS menggunakan British English sedangkan TOEFL menggunakan American English. Maka dari itu, IELTS paling umum digunakan oleh mereka yang ingin berkuliah/bekerja di United Kingdom atau negara-negara persemakmuran Inggris seperti Australia atau Selandia Baru. Di sisi lain, untuk yang bertujuan ke Amerika Serikat dan Kanada cenderung lebih memilih menggunkan tes TOEFL. Namun sekali lagi, karena baik TOEFL atau IELTS diterima secara global, IELTS pun bisa digunakan ke Amerika atau Kanada dan sebaliknya.

IELTS terdiri dari dua jenis tes, Academic dan General Training berdasarkan keperluan kita mengambil tes bahasa Inggris, apakah untuk tujuan pendidikan atau perkerjaan. Sedangkan TOEFL hanya satu jenis saja. Untuk komponen penilaian sama-sama menilai 4 kemampuan berbahasa yaitu listening, reading, writing, dan speaking.

Teknis Pelaksanaan
TOEFL iBT dan IELTS punya perbedaan mendasar pada teknis pelaksanaannya. IELTS umumnya berlangsung selama sekitar 2 jam 45 menit, sedangkan TOEFL iBT dapat sampai 4 jam. Untuk reading dan listening, semua soal TOEFL adalah pilihan ganda, sedangkan  bentuk soal IELTS jauh lebih beragam. Untuk tiap komponen, soal pilihan ganda IELTS mungkin hanya sekitar 5 atau 6 soal dari 40 total soal. Selebihnya adalah isian, mencocokkan, mencari ide pokok, melengkapi summary, dan memilih antara True, False , atau Not Given.

Pada bagian listening pun terdapat perbedaan mendasar yaitu aksen yang digunakan. Tes TOEFL cenderung hanya memperdengarkan rekaman dengan aksen Amerika saja, sedangkan IELTS menuntut kita mampu memperoleh informasi dari aksen-aksen yang berbeda seperti British, Amerika, Australia, atau Kanada.

Pada bagian writing TOEFL iBT, kita menulis dengan cara mengetik langsung pada komputer sedangkan pada tes IELTS kita betul-betul menulis dengan tulisan tangan pada kertas jawaban yang disediakan. Untuk Speaking, kita akan berbicara dan direkam di depan komputer untuk tes TOEFL iBT, sedangkan pada tes IELTS kita akan langsung berbicara dengan penguji yang bahasa aslinya adalah bahasa Inggris (native speaker). Oleh karena itu menurut saya, dari segi teknis dan pelaksanaan, tes IELTS memang lebih rumit dibandingkan TOEFL.

Sistem Scoring
Walaupun komponen penilaian untuk TOEFL iBT dan IELTS sama persis, tetapi sistem skoringnya cukup berbeda. Untuk IELTS menggunakan rentang nilai 0 sampai 9 untuk masing-masing komponen bahasa dan semua nilai (reading, listening, writing, dan speaking) nanti akan dirata-rakan (juga dalam skala 0-9) untuk memperoleh overall band score. Di sisi lain, skor total TOEFL iBT menggunakan rentang 0 – 120 sedangkan untuk skor per komponen dinilai dari range 0-30. Jadi nilai overall pada TOEFL iBT adalah hasil penjumlahan semua komponennnya, sedangkan pada IELTS adalah nilai rata-ratanya.

Perlu digarisbawahi bahwa dalam tes IELTS atau TOEFL atau tes bahasa apapun itu tidak ada istilah lulus dan tidak lulus karena tes bahasa hanya akan menilai sejauh mana kemampuan kita berbahasa asing. Universitas atau institusi tujuan kitalah yang nanti menentukan apakah nilai yang sudah kita capai telah memenuhi kriteria minimal yang mereka tentukan atau belum. Umumnya institusi-institusi luar negeri mensyaratkan nilai minimal overall score IELTS adalah 6.5 dengan catatan tidak ada nilai per komponen yang kurang dari 6. Di sisi lain, untuk TOEFL, biasanya adalah overal score 92 dengan nilai per komponen biasanya minimal 20-24.

Institusi Penyedia Beasiswa
Beberapa penyedia sponsor beasiswa mengharuskan TOEFL atau IELTS dalam proses seleksinya sehingga persiapan belajar untuk tes bahasa Inggris yang akan diambil juga dapat dipilih berdasarkan beasiswa yang ditargetkan. Misalnya untuk beasiswa Fulbright, para aplikan yang lolos ke seleksi wawancara nantinya diharuskan untuk mengambil tes TOEFL iBT bersama dengan GRE atau GMAT. Sedangkan beasiswa AAS (Australia Awards Scholarship), peserta yang lolos menjadi shortlisted candidates juga diharuskan mengikuti tes IETLS. Walaupun demikian, pada tahap awal seleksi administrasi, baik Fulbright atau AAS masih membolehkan menggunakan sertifikat bahasa Inggris lainnya termasuk TOEFL ITP.

NB: Artikel ini saya tulis di tengah kegalauan menanti pengumuman wawancara LPDP. Hanya sebagai sarana berbagi, mengalihkan kegalauan dan pikiran yang mengawang-ngawang, serta mencoba untuk tetap produktif.
Setelah semua persyaratan berhasil saya selesaikan, akhirnya saya mulai mendaftarkan diri saya ke berbagai universitas. Saya menyelesaikan semua proses pendaftaran saya di sebuah warnet di kota Palu di sekitaran jalan Setia Budi. Saya menghabiskan waktu berjam-jam dari siang sampai malam selama beberapa hari mengisi form aplikasi dan dokumen sampai penjaga warnet menghapal mati wajah saya karena berjam-jam tidak beranjak dari tempat duduk.

Umumnya, pendaftaran memang dilakukan secara online dengan cara membuat akun pribadi di website universitas tujuan kita. Jika pendaftaran kita selesai, maka kita tinggal menunggu hasilnya lewat notifikasi yang masuk ke email pribadi kita. Hasilnya bisa dua, ditolak atau diterima. Jika kita diterima, maka kita akan diberikan Letter of Acceptance (LoA) atau terkadang juga disebut Letter of Offer. LoA adalah sebuah surat yang menyatakan bahwa kita telah diterima oleh universitas tersebut. Perlu juga diketahui bahwa LoA ada dua jenis, LoA unconditional dan conditional. Jika kita telah mendapat LoA yang sifatnya unconditional, maka kita telah dianggap memenuhi segala persyaratan untuk diterima di universitas tersebut. Sedangkan jika LoA sifatnya conditional berarti kita akan diterima dengan catatan harus memenuhi beberapa syarat terlebih dulu. Sebagai contoh, LoA conditional biasanya didapatkan ketika seseorang mendaftar tapi ijazahnya belum diterbitkan atau nilai bahasa Inggrisnya di bawah standar yang ditetapkan. Agar LoAnya berganti menjadi unconditional, maka dia harus mengunggah ijazahnya terlebih dahulu atau mengunggah sertifikat bahasa Inggris terbaru yang nilainya telah memenuhi persyaratan karena hanya LoA unconditional-lah yang nantinya bisa dipakai masuk universitas.

Langkah selanjutnya setelah mendapat LoA adalah merespon offer tersebut. Respon kita bisa menerima (accept) atau bahkan menolak (decline) jika akhirnya kita berubah pikiran atau mungkin kita juga diterima di universitas lain yang lebih kita prioritaskan. Kadang kita memiliki opsi ketiga yaitu deffer. Opsi ketiga inilah yang saya jalankan. Deffer artinya kita meminta ke pihak universitas agar perkuliahan kita dimundurkan ke tahun ajaran selanjutnya. Saya sendiri melakukan deffer karena saya memang targetnya berkuliah di tahun 2020, karena tahun 2019 saya masih harus berburu beasiswa. Namun, tidak semua universitas membolehkan kita melakukan deffer dan mengharuskan kita untuk mendaftar lagi tahun depannya.


Akhirnya yang dinanti-nanti pun tiba. Hanya sehari setelah saya menyelesaikan semua proses aplikasi saya, sebuah email masuk ke inbox saya pada tanggal 14 Februari 2018 sekitaran pukul 01.00 dini hari atau masih tanggal 13 Februari 2018 sore hari waktu UK. Email tersebut tertulis berasal dari mycampus-admissions dengan subjek Offer Notification from the University..... (karena saya buka lewat HP, maka tidak kelihatan seluruhnya). Setelah saya buka, yang nampak pertama adalah logo University of Glasgow yang di bawahnya bertuliskan Dear Mr Fistra Janrio Tandirerung. I am delighted to inform you that the University of Glasgow is making you an Uncondtional offer for admission to the above programme.

Ternyata itu adalah LoA unconditional. Saya benar-benar tidak menyangka bahwa yang pertama merespon adalah University of Glasgow (UoG). Bahkan hanya berselang sehari saja setelah saya mensubmit aplikasi saya (umumnya sekitar 2-4 minggu). Terlebih karena ketika saya mengisi form aplikasi, Universitas Tadulako tidak muncul dalam list universitas asal Indonesia sehingga saya harus mengetik manual. Saya khawatir nasib saya akan sama dengan beberapa orang yang ditolak UoG karena universitas asalnya tidak ada dalam list UoG. Namun, ternyata Tuhan menjawab doa saya.
 Hanya berselang sehari setelah menerima offer dari UoG, saya kemudian mendapat email masuk dari Pgadmissions dengan subjek Offer of admission from the Universit... Ternyata email tersebut juga berisikan unconditional offer dari University of Aberdeen, yang juga salah satu universitas di Skotlandia. Puji Tuhan!!
 Waktu berganti, email pun bergantian masuk ke dalam inbox saya sampai beberapa minggu kemudian. Puji Tuhan, semuanya berisi LoA dari semua universitas yang saya daftari. Namun, tidak semuanya adalah LoA unconditional seperti University of Edinburgh, University of Bristol, dan University of  York. Untuk University of Edinburgh, sebenarnya semua persyaratan sudah saya penuhi, hanya saja kita baru akan diberikan LoA unconditional jika kita sudah membayar sejumlah deposit terlebih dulu, kalau tidak salah senilai GBP 1000. Sedangkan University of Bristol mengharuskan untuk memasukkan bukti telah melakukan vaksinasi Hepatitis B karena jurusan tujuan saya akan melakukan workshop di salah satu rumah sakit di kota Bristol, Inggris sehingga diharuskan sudah divaksinasi Hepatitis B terlebih dahulu. Untuk University of York sebenarnya saya tidak menyelesaikan aplikasinya karena saya sudah diterima di beberapa universitas lain sehingga perekomendasi saya belum memasukkan reference letter ke bagian admission Hull York Medical School (HYMS). Namun ternyata HYMS tetap memberikan saya conditional offer on reference letter. Puji Tuhan !

Yang menarik adalah beberapa universitas seperti University of Sheffield dan University of Edinburgh juga mengirimkan surat ucapan selamat langsung ke alamat rumah saya. Yah walapun tinggal di kampung, setidaknya pernah dapat kiriman langsung dari Inggris dan ibu kota Skotlandia. Hahaha
Offer/LoA terakhir yang saya dapatkan adalah dari University College London (UCL), salah satu universitas terkemuka di tengah kota London. Menurut QS World University Ranking 2020, UCL adalah universitas ranking 8 dunia dan ketiga di United Kingdom setelah University of Oxford dan Cambridge. UCL adalah satu-satunya Universitas yang saya daftari yang mengenakan application fee sebanyak 75 pundsterling (sekitaran 1,4 juta) yang harus dibayarkan lewat credit card sebelum aplikasi kita diproses. Untuk membayar app fee-nya, saya harus meminta tolong kepada paman saya untuk membayarkan biaya pendaftarannya dan nanti akan saya ganti (karena saya tidak punya kartu kredit). Namun karena paman saya baik hati jadi saya tidak perlu mengganti uangnya. Haha
Setelah saya mendapat semua LoA (yang di luar ekspektasi saya), saya menghubungi pihak universitas untuk melakukan deffer karena saya ingin menggunakan LoA saya untuk berburu beasiswa. Sebenarnya sebagian besar penyedia beasiswa tidak mengharuskan kita memiliki LoA terlebih dulu, tetapi saya ingin berusaha semaksimal mungkin dengan memiliki LoA sebelum berburu beasiswa karena menurut saya, memilki LoA adalah salah satu bentuk keseriusan kita. Sayangnya setelah saya berkirim email dengan programme directornya, University of Edinburgh tidak membolehkan dilakukannya deffer. Apa boleh buat. Untungnya, University of Edinburgh bukan prioritas saya walaupun UoE termasuk universitas terkemuka dan Edinburgh city dan juga Glasgow merupakan salah satu kota terindah di dunia yang ingin saya datangi suatu saat nanti. Tetapi apapun itu, tujuan studi adalah prioritas di atas segalanya. Dengan LoA di tangan, saatnya masuk ke dalam tahap selanjutnya yang lebih berat dan butuh perjuangan, Scholarship hunting.



University of Cambridge - Salah satu universitas terbaik di dunia

Sudah lama saya ingin berkuliah di luar negeri. Buat saya pendidikan yang lebih tinggi adalah bagian dari perjalanan hidup, bukan hanya sekedar jalan agar mendapat gaji, pekerjaan, atau jabatan yang lebih tinggi apalagi hanya untuk jalan-jalan ke luar negeri. Awalnya saya berfikir bahwa dengan studi di luar negeri akan memberikan saya ilmu dan pengalaman serta pandangan yang baru dan lebih luas, tetapi ternyata yang saya dapatkan jauh lebih besar dari itu. Setelah saya menjalani proses demi prosesnya, saya menyadari bahwa keseluruhan prosesnya adalah satu momen penting di mana saya menemukan dan lebih mengenal diri saya sendiri.

Saya mulai mengambil langkah konkrit pada Januari 2018 saat saya masih duduk di pendidikan klinik. Saya membuat dan menyusun timeline pribadi saya mulai dari mempersiapkan berkas sampai seleksi beasiswa di tahun depan. Semua sudah saya atur dan jalani sesuai dengan yang saya rencanakan.

Saya ingin melanjutkan pendidikan master di bidang cardiovascular science atau neurology karena kedua bidang tersebut adalah bidang yang buat saya sangat menarik. Namun setelah membuat pertimbangan, akhirnya saya memilih jurusan cardiovascular science dengan pertimbangan utama bahwa di dunia klinis, signifikansi kasus-kasus kardiovaskular atau ilmu jantung dan pembuluh darah lebih besar. Akhirnya saya mencari universitas-universitas di luar negeri yang menawarkan program tersebut. Salah satu keuntungan studi di luar negeri adalah mereka menawarkan jurusan-jurusan yang sangat spesfik. Bahkan untuk jurusan yang sama di dua universitas berbeda dapat memiliki modul-modul yang cukup berbeda sehingga kita dapat memilih mana yang lebih cocok dengan latar belakang, minat, dan tujuan karir kita ke depannya.

Saya menghabiskan banyak waktu berselancar di website-website universitas di berbagai negara. Mencari di universitas mana yang kira-kira menawarkan jurusan yang saya inginkan. Akhirnya saya menemukan beberapa kampus seperti Imperial College London, University of Bristol dan University of Glasgow di United Kingdom dan University of Goettingen di Jerman serta Vrije University di Belanda. Saya berencana mendaftarkan diri ke banyak universitas dengan harapan ada satu saja yang menerima saya. Saya tidak berharap terlalu banyak karena saya berusaha realistis bahwa universitas saya bukan termasuk universitas top di Indonesia dan belum ada alumni dari fakultas saya yang pernah mencobanya sebelumnya. Saya beberapa kali membaca di blog pribadi orang lain bahwa ada yang ditolak saat mendaftar ke luar negeri karena kampusnya dianggap tidak teregister atau tidak masuk ke dalam list yang dapat mendaftar ke universitas tersebut, kebanyakan dari mereka ditolak oleh University of Glasgow. Bahkan salah satunya memiliki akreditasi kampus yang lebih baik dari universitas asal saya. Oleh karenanya saya berusaha mencari banyak referensi kampus supaya ketika saya ditolak, masih ada kesempatan diterima di kampus lain. Itulah alasan utama mengapa saya juga mendaftar ke jurusan anatomy karena saya merasa kemungkinan saya untuk diterima bisa lebih besar karena saya pernah menjadi teaching assistant di Departemen Anatomi, mengikuti olimpiade anatomi, dan saya memiliki publikasi ilmiah di bidang anatomi.

Menurut saya dalam memilih universitas untuk studi master atau doktoral harus mempertimbangkan banyak hal. Mulai dari ranking atau reputasi universitas dan jurusan, modul kuliah, ketersediaan dan kesesuaian supervisor riset dengan minat riset kita, rencana karir ke depan, penyedia beasiswa, nilai kemampuan berbahasa Inggris, sampai keadaan di kota dan negara tujuan. Singkat cerita, saya akhirnya mendaftarkan diri ke delapan universitas yang kebetulan semuanya berada di United Kingdom, terutama di Inggris dan Skotlandia. Sebenarnya ada beberapa universitas lain yang aplikasinya tidak saya selesaikan seperti Queen Mary University London, Boston University, University College Cork, dan Trinity College Dublin terutama karena mereka mengenakan aplication fee untuk mendaftar ke jurusan mereka. Universitas-universitas yang saya selesaikan aplikasinya antara lain:
-          University College London (Cardiovascular Science)
-          University of Glasgow (Cardiovascular Science)
-          University of Bristol (Translational Cardiovascular Medicine)
-          University of Aberdeen (Cardiovascular Science and Diabetes)
-          University of Edinburgh (Human Anatomy)
-          University of Sheffield (Human Anatomy with Education)
-          University of Dundee (Human Anatomy)
-          University of York (Clinical Anatomy and Education)

Universitas di luar negeri kebanyakan tidak mengadakan tes masuk untuk calon mahasiswanya karena mereka lebih melihat potensi keseluruhan mahasiswa dengan melihat secara keseluruhan kemampuan dan track record calon mahasiswanya daripada hanya mendasarkan pada hasil tes saja. Beberapa universitas juga menjadikan wawancara sebagai salah satu bagian seleksi. Jika calon mahasiswa tidak bisa mengikuti wawancara di universitas tujuan maka mereka akan mewawancara calon mahasiswanya via skype.

Secara umum, persyaratan untuk mendaftar studi ke luar negeri adalah :
1.       IPK pada jenjang pendidikan sebelumnya
IPK sangat penting untuk jenjang studi yang lebih tinggi karena universitas luar negeri memberi batasan IPK (GPA = Grade Point Average) minimal yang boleh mendaftar ke jurusan mereka. Jika IPK kita tidak memenuhi standar yang mereka tetapkan, maka aplikasi kita akan langsung tertolak. Pada umumnya di United Kingdom, syarat IPK minimal ekuivalen dengan upper second degree (2.1) atau dengan sistem Indonesia ekuivalen dengan IPK minimal sekitar 3,3. Di universitas seperti Oxford dan Cambridge mereka bahkan mensyaratkan first class degree (1) pada pendidikan sebelumnya atau setara dengan IPK minimal 3,50 dan menyatakan bahwa umumnya yang sukses adalah aplikan dengan IPK sekitar 3,70. Itulah sebabnya kita tidak boleh naif mengatakan IPK tidak penting. Bagaimanapun IPK adalah standar dan tolok ukur kuantitatif untuk menilai performa akademik seseorang walaupun ada hal-hal fundamental seperti leadership, kemampuan interpersonal, kematangan emosi dan karakter yang tidak dapat diukur dengan IPK. Oleh karena itu, menurut saya, berusaha memperoleh IPK yang baik juga perlu asalkan tidak menjadi mahasiswa yang hanya sekedar bureng alias buru rengking. Karena yang terpenting adalah bagaimana kita dapat mempertanggunjawabkan gelar dan nilai yang tertera pada ijazah dan transkrip kita.

2.       Curriculum Vitae (CV)
Daftar riwayat hidup atau CV merupakan dokumen yang sangat penting saat mendaftar studi postgraduate. Oleh karena itu, perlu untuk mempelajari cara membuat CV yang baik. Karena melalui CV, kita dapat meng-endorse diri kita pada tim penyeleksi mahasiswa. CV adalah kesempatan kita untuk menunjukkan bahwa kita memiliki track record yang baik untuk meyakinkan pihak universitas bahwa kita memilki kualitas yang mereka cari. Secara umum, di CV kita dapat mencantumkan riwayat pendidikan termasuk short course atau research fellow, riwayat pekerjaan dan organisasi, prestasi atau beasiswa dan grant yang pernah didapat, pengalaman riset, mengajar, dan publikasi serta kemampuan lain seperti bahasa asing. Pengalaman mengikuti seminar atau konferensi juga perlu dituliskan untuk menunjukkan bahwa kita memilki concern terhadap dunia pendidikan dan keilmuan. Oleh karena itu, saya menyarankan bagi yang masih di bangku pendidikan agar tidak hanya terpaku untuk sekadar mendapat nilai tinggi tapi juga aktif dalam kegiatan organisasi dan kegiatan akademik seperti seminar, mengajar sebagai asisten, kompetisi akademik seperti olimpiade atau kegiatan-kegiatan lain seperti volunteering dsb. Karena kualitas-kualitas seperti itu juga yang nantinya akan menjadi bahan pertimbangan penting, termasuk bagi panelis penyedia sponsor beasiswa.

3.       Motivation Letter/Statement of Purpose
Motivation Letter (Motlet) adalah dokumen yang tak kalah pentingnya dengan CV. Karena pada dasarnya, CV dan Motlet adalah dokumen yang saling melengkapi karena tidak semua informasi bisa dimuat di dalam CV. Secara umum, motlet adalah essay yang berisikan motivasi mengapa kita ingin melanjutkan studi, mengapa harus di universitas dan jurusan tersebut dan bukan di universitas lain, serta apa yang hendak kita lakukakan nanti jika selesai studi. Oleh karena itu, penting untuk melakukan riset mengenai profil universitas, mata kuliah yang ditawarkan, kelebihannya dibanding universitas lain, termasuk kelebihan kota atau negara tempat universitas tersebut berada. Selain itu yang tak kalah penting, ini adalah kesempatan untuk kita “berbicara” dengan diri sendiri mengenai motivasi dan apa yang hendak kita capai ke depannya. Jadi bukan hanya karena ingin jalan-jalan ke luar negeri, karena ada banyak hal yang jauh lebih substansial dan fundamental.

Tiap universitas umumnya menentukan format motlet mereka sendiri seperti batasan jumlah kata atau jumlah halaman dan apa saja yang pihak universitas ingin nilai dari motlet kita. Sehingga kita harus aktif mengutak-atik website universitas tujuan kita.

Saya menyusun CV dan Motlet saya dalam waktu yang cukup lama karena saya menulisnya di sela-sela waktu saya sebagai koas saat itu. Saya juga menyimpan file-file saya ke dalam handphone sehingga saya bisa membacanya kembali di manapun ketika saya memiliki waktu luang agar dapat memperbaiki yang masih kurang. Selain itu, saya juga sering membuka blog dan menghubungi teman-teman saya untuk melihat contoh CV dan motlet mereka untuk membantu saya melihat apa yang masih perlu saya perbaiki. Penting juga untuk memiliki mentor atau teman yang dapat menjadi proofreader untuk mengoreksi CV dan motlet yang sudah kita tulis untuk mengoreksi substansi dan juga grammar serta penulisannya.

4.       Reference Letter / Surat Rekomendasi
Reference letter adalah dokumen penting yang memberikan gambaran tentang kualitas kita dari perspektif atau sudut pandang orang lain. Biasanya ini dituliskan oleh dosen-dosen (academic referee) yang dapat memberikan komentar dan familiar terhadap performa akademik kita selama masa studi. Oleh karena itu, sebaiknya kita meminta kepada dosen yang mengenal baik diri kita sehingga dapat ikut meyakinkan pihak universitas untuk menerima kita. Umumnya perekomendasi adalah dosen yang pernah membimbing kita dalam skripsi, karya tulis ilmiah lainnya atau pembimbing akademik. Kalau bisa mendapat rekomendasi dari petinggi fakultas akan lebih baik. Itulah mengapa penting untuk selalu menjaga nama baik pribadi dan hubungan yang baik dengan guru-guru kita karena mereka tidak hanya membantu kita selama masa pendidikan saja. Jika kita sudah bekerja, maka kita dapat meminta surat rekomendasi ke atasan kita (professional referee). Tetapi pada umumnya, pihak universitas tetap menghendaki ada minimal satu rekomendasi yang ditulis oleh dosen kita.

Saya sendiri mendapat rekomedasi dari dekan fakultas dan salah satu pembimbing karya tulis saya semasa studi. Walaupun saat itu dekan saya sedang berada di Skotlandia saat saya menghubungi beliau tapi beliau sangat mendukung rencana saya dan dengan senang hati membantu saya. Beliau jugalah yang menyaranakan saya agar mendaftar ke University of Dundee dan sempat memberikan saya kontak salah satu professor di sana. Dosen saya juga saat itu sebenarnya lagi sibuk-sibuknya mengurus akreditasi rumah sakit tapi tetap menyempatkan waktu untuk membantu saya serta memberi dukungan penuh.

Perlu diketahui bahwa ada universitas yang membolehkan kita mengunggah hasil scan surat rekomendasi yang kita punya, tetapi sebagian universitas tidak membolehkan kita untuk mengetahui isi surat rekomendasi yang ditulis oleh perekomendasi kita. Oleh karenanya, mereka mengirim link pribadi ke email perekomendasi kita dan menuliskannya secara langsung secara online lalu dikirimkan ke pihak universitas.

Jumlah surat rekomedasi yang diperlukan pun beragam. Umumnya di Inggris meminta dua rekomendasi. Di Skotlandia umumnya hanya satu saja dan di Amerika umumnya mengharuskan kita mengirim tiga surat rekomendasi. Ada juga universitas atau jurusan tertentu yang tidak perlu menyertakan surat rekomendasi.

5.       Ijazah dan Transkrip
Ijazah dan transkrip juga wajib disertakan pada proses aplikasi. Menurut saya ini akan jadi bahan evaluasi penyeleksi calon mahasiswa untuk melihat apakah mata-mata kuliah dan nilai mata kuliah yang pernah diambil cukup untuk dapat mengikuti perkuliahan nantinya. Oleh karenanya, saya pernah membaca blog seseorang yang ditolak salah satu universitas di Jerman karena dianggap mata kuliah yang pernah diambil di salah satu bidang kurang.

Jika ijazah dan transkrip kita hanya dalam bahasa Indonesia, maka kita diwajibkan juga untuk menyertakan ijazah dan transkrip kita yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris (atau bahasa lain) oleh penerjemah tersumpah (sworn translator). Untungnya, ijazah dan transkrip di universitas saya sudah dalam bentuk bilingual sehingga saya tidak perlu lagi menerjemahkan dokumen saya ke bahasa Inggris.

6.       Sertifikat Bahasa Asing
Ini adalah salah satu persyaratan yang relatif sulit. Sebagian besar universitas luar negeri mensyaratkan IELTS Academic atau TOEFL iBT (TOEFL ITP tidak diterima untuk studi ke luar negeri) sebagai bukti english proficiency. Kedua sertifikat tersebut umumnya bisa dipakai ke negara mana saja yang mensyaratkan bahasa Inggris sebagai persaratan admisi termasuk di negara yang tidak berbahasa Inggris (mis. Belanda, Jerman, dll). Kita sebenarnya boleh saja tidak memiliki sertifikat bahasa Inggris dengan catatan pendidikan kita sebelumnya ditempuh di English-speaking country atau bahasa pengantarnya bahasa Inggris. Perlu diingat, sertifikat bahasa Inggris tidak boleh lebih dari dua tahun sejak tes dilakukan. (Informasi lebih detil mengenai IELTS dapat dibaca di tulisan-tulisan saya sebelumnya)

Saya sendiri menghadap dosen saya untuk meminta surat rekomendasi ketika saya sudah memiliki sertifikat IETLS untuk memberi kesan kepada dosen saya bahwa seluruh berkas saya sudah siap selain surat rekomendasi sehingga lebih meyakinkan.

7.       Passport
Sebenarnya dokumen ini sifatnya opsional. Sebaiknya ada tapi kalau belum punya juga tidak terlalu masalah karena sebagian universitas juga tidak mengharuskan kita untuk memilki passport walaupun di form aplikasi umumnya kita diminta mengisi passport. Tetapi saya sudah membuat passport sejak Desember 2018 di kantor imigrasi Palu agar bisa menambah semangat supaya bisa ke luar negeri.

8.       Persyaratan lain
Secara umum, 7 persyaratan di atas adalah yang paling sering kita butuhkan. Tetapi dalam keadaan tertentu ada persyaratan tambahan yang diperlukan. Misalnya jika kita ingin mendaftar ke universitas di Amerika Serikat, umumnya kita diminta memasukkan dokumen GRE (Graduate Record Examination) atau GMAT (Graduate Management Admission Test) tergantung pada jurusan yang dituju. Kedua dokumen ini hampir sama dengan Tes Potensi Akademik, hanya saja lebih rumit. Kadang juga untuk jurusan master by research (di luar negeri program master ada dua jenis : coursework dan research)  kita juga harus sudah memiliki proposal riset dan berkorespondensi dengan calon supervisor. Selain itu, terkadang jurusan bisnis atau seni meminta calon mahasiswanya untuk mengirim contoh portofolio mereka.

Setelah semua syarat sudah terpenuhi, waktunya untuk mensubmit semua dokumen dan mengisi form aplikasi secara online serta membayar application fee (jika ada). Kemudian menunggu aplikasi kita diproses oleh admission office. Terkadang ada tahap wawancara. Lamanya waktu yang diperlukan untuk mendapat hasil dari aplikasi umumnya bervariasi dari beberapa hari sampai beberapa bulan. Biasanya tergantung dari mekanisme penerimaan tiap kampus. Jika universitas menerapkan rolling basis, maka universitas akan langsung memberikan offer jika pendaftar dianggap memenuhi persyaratan dan kuota mahasiswa masih ada. Tetapi ada juga universitas yang mengumpulkan dulu beberapa aplikasi, lalu memberikan ranking untuk tiap pelamar. Yang memiliki rangking aplikasi terbaiklah yang akan diberian offer.

Pada akhirnya, preparation is everything. Jika kita bisa mempersiapkan semua persyaratan dengan baik dan memaksimalkan seluruh potensi yang ada pada diri kita, maka niscaya Letter of Acceptance (LoA) atau Letter of Offer akan kita dapatkan.

Subscribe to: Posts ( Atom )

ABOUT AUTHOR

Flag Counter

LATEST POSTS

  • Begini Cara Agar Diterima Oleh Universitas Luar Negeri
    University of Cambridge - Salah satu universitas terbaik di dunia Sudah lama saya ingin berkuliah di luar negeri. Buat saya pendidikan...
  • My LPDP Story - Pengalaman Mengikuti Seleksi Administrasi LPDP
    Dua cerita kegagalan dengan AAS dan Fulbright akhirnya membawa saya kepada LPDP. LPDP sebenarnya adalah beasiswa prioritas utama saya sejak...
  • Kuliah ke Luar Negeri Pakai TOEFL atau IELTS?
    Tes bahasa adalah syarat mutlak jika seseorang ingin melanjutkan sekolah atau bekerja di luar negeri. Tes ini sendiri bertujuan untuk menja...
  • My LoA Story - Akhirnya Saya Mendapatkan LoA
    Setelah semua persyaratan berhasil saya selesaikan, akhirnya saya mulai mendaftarkan diri saya ke berbagai universitas. Saya menyelesaikan ...
  • My LPDP Story - Pengalaman Menghadapi dan Tips SBK LPDP 2019
    Setelah berhasil melalui tahap administrasi, tembok kedua yang harus dihadapi dalam proses seleksi beasiswa LPDP adalah Seleksi Berbasis Ko...
  • My AAS Story : Menghabiskan Jatah Gagal
    Australia Awards Scholarship (AAS) adalah salah satu beasiswa luar negeri yang paling populer. Menurut saya ada banyak hal yang membuat...
  • My LPDP Story - Pengalaman Wawancara 2 LPDP 2019 di Makassar
    Tahap akhir dari seleksi LPDP adalah wawancara. Tahap wawancara adalah tahap paling krusial dari rangkaian seleksi beasiswa. Pada skema bea...
  • My Fulbright Story - Kegagalan Pertama Berburu Beasiswa
    Mengejar beasiswa penuh untuk studi lanjut memang bukan hal yang mudah. Dibutuhkan ketekunan, dedikasi, mental kuat yang siap menerima kega...
  • My LPDP Story - Pengalaman Wawancara 1 LPDP 2019 di Makassar
    Setelah melalui wawancara 2 serta verifikasi dokumen, jadwal saya selanjutnya adalah wawancara 1 pukul 16.20 tanggal 14 Agustus 2019. Jedan...
  • My IELTS Story - Berbagi Pengalaman Belajar Otodidak dan Tes IELTS di IDP Makassar
    Setelah saya dinyatakan lulus Ujian Kompetensi Dokter batch 4 tahun 2018 pada awal Desember 2018, saya langsung tancap gas untuk persiap...

Blogger templates

Instagram

Find me on Instagram @fistrajanrio

Blog Archive

  • November 2020 (1)
  • October 2020 (1)
  • January 2020 (1)
  • December 2019 (1)
  • November 2019 (3)
  • October 2019 (1)
  • September 2019 (8)
  • August 2019 (3)
  • July 2019 (3)
Powered by Blogger.

Search This Blog

Report Abuse

  • Home

About Me

My photo
Fistra Janrio Tandirerung
A passionte doctor with interest on health practice, education, and research. I made this blog to share valuable information and insights on important events and to help those who aspire for higher education abroad trough scholarship.
View my complete profile

Belajar IELTS Otodidak. Mungkinkah?

source: freepik.com Kemampuan berbahasa asing, terutama bahasa Inggris, adalah syarat mutlak untuk melanjutkan studi di luar negeri. Syarat ...

Contact Form

Name

Email *

Message *

Latest Posts

  • My LPDP Story - Pengalaman Menghadapi dan Tips SBK LPDP 2019
    Setelah berhasil melalui tahap administrasi, tembok kedua yang harus dihadapi dalam proses seleksi beasiswa LPDP adalah Seleksi Berbasis Ko...
  • My LPDP Story - Pengalaman Wawancara 2 LPDP 2019 di Makassar
    Tahap akhir dari seleksi LPDP adalah wawancara. Tahap wawancara adalah tahap paling krusial dari rangkaian seleksi beasiswa. Pada skema bea...
  • My LPDP Story - Pengalaman Mengikuti Seleksi Administrasi LPDP
    Dua cerita kegagalan dengan AAS dan Fulbright akhirnya membawa saya kepada LPDP. LPDP sebenarnya adalah beasiswa prioritas utama saya sejak...

Blogroll

Flickr

About

Copyright 2014 Fistra Janrio`s Self Discovery.
Designed by OddThemes