Fistra Janrio`s Self Discovery

where I keep and share my stories and insights on the journey of pursuing higher education abroad

  • Home
Home Archive for July 2019


Setelah saya dinyatakan lulus Ujian Kompetensi Dokter batch 4 tahun 2018 pada awal Desember 2018, saya langsung tancap gas untuk persiapan tes IELTS. Saya sudah membuat timeline pribadi saya sejak Januari 2018 mengenai rencana saya untuk studi ke luar negeri. Awalnya saya berencana tes IELTS pada Desember 2018, tetapi karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan, saya akhirnya tes di bulan Januari 2019.

Saya melakukan booking tes IELTS bulan Desember 2018 dan membayar biaya tes sebanyak 2,9 juta rupiah di IDP Makassar untuk tes tanggal 19 Januari 2019. Di Makassar sendiri, tes IELTS dapat dilakukan di IDP Education dan British Council. Namun berdasarkan saran beberapa teman saya yang sudah pernah tes IELTS sebelumnya, akhirnya saya memilih lokasi tes di IDP Makassar di Jl. Yosef Latumahina.

Saya sudah bertekad bahwa saya harus mendapat skor yang baik dalam sekali tes. Hal ini dikarenakan budget saya memang hanya cukup untuk sekali tes dan jika saya gagal, timeline yang saya rencanakan pasti akan berantakan karena saya harus mengikuti Program Internship Dokter Indonesia selama setahun dari Mei 2019 sampai Mei 2019. Oleh karena itu, saya tidak boleh gagal walaupun hanya memiliki satu peluru saja.

Target nilai IELTS saya sendiri adalah minimal overall band 6.5 dengan nilai minimal 6.0 di tiap band-nya. Nilai tersebut adalah nilai paling standar yang diminta sebagian besar kampus di luar negeri dan penyedia beasiswa luar negeri, walaupun pada beberapa kampus tertentu bisa lebih rendah atau malah lebih tinggi. Biasanya universitas-universitas top seperti Cambridge, Oxford, Harvard, atau Stanford mensyaratkan nilai lebih tinggi yaitu overal band 7. Bahkan kadang mereka minta IELTS All straight 7. Perlu diingat juga bahwa requirements untuk skor IELTS (atau TOEFL) dapat berbeda tiap jurusan walaupun dalam kampus yang sama. Jadi sebelumnya, kita memang harus melakukan riset pribadi mengenai nilai kemampuan bahasa yang disyaratkan oleh kampus dan jurusan yang dituju.

Seperti yang saya tuliskan di artikel sebelumnya, saya belajar otodidak untuk menghadapi tes ini. Selain karena untuk kursus IETLS biayanya hampir semahal biaya tesnya, di tempat saya di Toraja juga tidak terdapat penyedia kurus IELTS. Saya paling banyak melatih reading dan listening karena kedua skill tersebut dapat kita latih dan evaluasi sendiri. Sedangkan speaking dan writing saya harus mempersiapkan seadanya karena saya tidak punya partner belajar.

Saya tiba di Makassar tanggal Jumat 18 Januari 2019 dan bermalam di kosan milik teman adik saya yang kuliah di Makassar. Besoknya saya berangkat sekitar jam 7 pagi ke lokasi tes. Saat tiba di kantor IDP Makassar, sudah ada dua orang perempuan yang tiba lebih dulu daripada saya. Saya langsung melakukan registrasi dan briefing sambil menunggu peserta lainnya tiba. Kalau saya tidak salah ingat, ada 16 orang yang akan ujian pada hari itu. Sebelumnya, para peserta diharuskan membawa alat tulis masing-masing berupa pensil HB, penghapus dan rautan serta kartu identitas yang sama (KTP atau Paspor) dengan yang digunakan saat mendaftar. Tak lama berselang, datang seorang bule yang menurut pengamatan saya berumur 50-an tahun dan langsung naik ke lokasi tes di lantai dua. Ternyata beliau adalah penguji tes IELTS kami pada waktu itu.

Sebelum melakukan tes, para peserta akan difoto dan diambil sidik jarinya terlebih dulu. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada peserta tes yang menggunakan joki dan untuk keperluan pembuatan sertifikat nantinya. Pada saat tes berlangsung, jika peserta ingin keluar ruangan diharuskan untuk scan sidik jari terlebih dahulu dan setelah kembali ke ruangan juga diharuskan scan sidik jari untuk memastikan orang yang masuk dan keluar adalah orang yang sama.

Tes dimulai pukul 9.00 WITA. Bagian pertama adalah listening. Section pertama dapat saya lewati dengan cukup baik walaupun ada satu dua soal yang miss tapi tidak ada yang saya kosongkan. Saya awalnya agak kaget karena kecepatan berbicara dari tape recorder yang sepertinya lebih cepat dibandingkan rekaman yang saya dengarkan saat latihan sehingga di awal-awal saya masih berusaha untuk catch up dengan suara rekaman. Saya mulai sedikit panik di section dua setelah saya sadar bahwa rekaman ternyata sudah selesai tapi masih ada sekitar 4 atau 5 nomor yang belum saya isi. Saya berusaha menenangkan hati karena masih ada dua section yang tersisa. Section tiga dan empat juga akhirnya dapat selesai walaupun ada beberapa nomor yang kosong dan saya tidak terlalu yakin dengan jawaban saya. Untungnya di akhir listening section, kita diberi waktu 10 menit untuk memindahkan jawaban ke answer sheet. Kesempatan ini saya manfaatkan baik-baik. Saya cukup beruntung bahwa soal yang masih saya kosongkan di section 2 adalah isian yang memiliki beberapa pilihan jawaban yang tersedia di dalam kotak, sehingga saya masih bisa sedikit menebak-nebak kemungkinan jawabannya. Kesalahan terbesar saya pada bagian ini adalah berlatih dengan menggunakan headset sehingga saya tidak siap mendengar rekaman dari tape recorder. Akibatnya suara yang saya dengarkan agak kurang jelas artikulasinya dan akhirnya saya yang bingung sendiri. Oleh karena itu, saya sarankan agar teman-teman sebelum ujian sebaiknya jangan membiasakan diri dengan headset atau earphone karena suara dari tape recorder lebih kurang jelas kedengarannya. Selain itu, jika ada soal yang terlewat segeralah move on karena rekaman akan terus berjalan tanpa peduli sudah berapa nomor yang kita lewatkan dan tidak akan diulangi lagi. Tetap fokus dengan soal-soal selanjutnya. Yang terakhir, pergunakan tambahan waktu 10 menit yang diberikan semaksimal mungkin karena pada akhirnya, itulah juga yang menyelamatkan saya pada section listening ini.

Bagian kedua adalah reading yang langsung dikerjakan setelah answer sheet listening dikumpulkan. Untungnya di section ini terasa lebih nyaman buat saya. Saya bisa mengerjakan soal-soal ini dengan lumayan baik walaupun dalam waktu yang pas-pasan. Dalam menghadapi bagian ini, kita memang harus terbiasa dengan bacaan-bacaan yang teknis dan mengambil informasi secara tepat dan efektif karena kita diharuskan menjawab 40 soal yang sangat variatif dalam waktu 60 menit berdasarkan 3 teks yang panjang-panjang. Saat saya berlatih, nilai saya bermain di kisaran 6.5 dan paling mentok di 7.0. Namun, saya tidak tau mengapa soal IELTS yang saya hadapi terasa “sedikit” lebih mudah dibandingkan saat saya latihan.

Setelah reading adalah writing. Seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya bagian ini terdiri dari dua part. Saya tidak begitu ingat apa instruksi yang ada pada soal writing Part 1 saya waktu itu. Hanya saja kalau tidak salah ingat, soalnya dalam bentuk pie chart. Pada part 2, saya mendapat soal yang meminta pendapat dan justifikasi argumen saya mengenai media informasi konvensional yang sudah mulai beralih ke media online. Bagian ini sebenarnya dapat saya lalui tepat waktu, tapi terus terang saya tidak dapat memprediksi nilai saya. Karena untuk mendapat nilai IELTS Writing 7 saja, kemampuan writing kita konon harus sekelas seorang jurnalis. Sebagian besar orang yang saya kenal dan baca pengalamannya di blog juga paling sering bermasalah di part writing. Terlebih saya tidak punya partner yang mem-proofread sampel tulisan saya selama saya mempersiapkan diri. Jadi bagian ini saya lewati ala kadarnya dengan kemampuan seadanya. Salah satu yang saya lakukan dalam mempersiapkan writing adalah membaca banyak bacaan dalam bahasa Inggris dan mencatat atau screenshoot kata-kata yang baru untuk menambah vocabulary saya dan membuka-buka kembali buku tentang grammar walaupun hanya kulit-kulitnya saja. Menurut pengalaman saya, sering membaca berita-berita online seperti BBC atau The Jakarta Post serta jurnal-jurnal ilmiah cukup membantu untuk reading dan writing.

Bagian terakhir adalah speaking. Pada bagian ini, tiap peserta akan dipanggil bergantian masuk ke ruang ujian. Saya dipanggil di urutan ke tiga. Saat saya masuk ruangan, terlebih dahulu scan sidik jari dan perlihatkan KTP. Setelah dipastikan orangnya sama, saya dipersilahkan duduk. Si penguji memperkenalkan diri. “My name is Mr. John bla bla”. Saya oke oke saja padalal saya tidak dengar jelas apa nama belakangnya. Saya tidak tahu darimana asal beliau, tapi kalau menebak dari aksennya, kesannya Mr. John adalah orang Amerika. Sambil melihat daftar nama peserta beliau mengatakan, “so you are Mr. Taanddirree”. “ It`s Tandirerung, Sir. That`s a little bit hard to spell, Sir” jawab saya. Lalu dia menjawab “Oh, it is” dengan dahi sedikit terkernyit. Tidak banyak yang saya ingat dari session ini. Saya hanya ingat di section 2 saya diminta menjelaskan mengenai a particular skill that require long time to master. Pertanyaan-pertanyaan di section 3 berkembang dari situ. Singkat cerita rangkaian tes IELTS saya diakhiri oleh ucapan “Good luck!” dari Mr. John sebelum saya pamit meninggalkan ruangan. Saat mempersiapkan diri untuk writing IELTS ini, saya kebanyakan hanya berbicara sendiri lalu direkam. Saya juga sering mengikuti speech-nya Captain America di film The Winter Soldier dan Civil War supaya bisa bicara diplomatis dan patriotik a la Captain Rogers yang masih saya hafal sampai saat ini. Ini bisa ditiru, bisa juga tidak. Hahaha

Hasil tes dapat dilihat secara online 13 hari setelah hari tes. Melihat hasil tes saya, saya senang sekaligus kaget. Saya dapat nilai overall band 7 (atau setara dengan CEFR C1 alias Advanced). Ini melebihi expektasi saya, terlebih ini adalah tes pertama saya dengan persiapan otodidak. Yang mengagetkan saya, nilai Listening saya juga 7 walaupun sudah sempat tidak berharap banyak di sini. Sayangnya nilai writing saya ada di zona degradasi yaitu 6.0. Tapi untungnya tertolong dengan reading 7.5 dan speaking yang cukup lumayan di 6.5. Puji syukur pada Tuhan Yesus yang bisa membantu saya melalui tahap ini dengan perjuangan yang lumayan menyita waktu dan tenaga. To God Be the Glory!!!

Dengan berbekal hasil ujian ini, saya bisa melanjutkan mengejar mimpi saya ke tahap selanjutnya, LoA dan Scholarship hunting.


Bagi mereka yang memiliki mimpi untuk melanjutkan studi ke luar negeri, sertifikat kemampuan bahasa asing adalah dokumen wajib yang kadang menjadi momok dan hambatan terbesar. Hal tersebut menjadi wajar, karena belajar di negeri orang juga berarti mengikuti aturan main yang berlaku di negara tujuan, termasuk menguasai bahasa mereka terutama bahasa Inggris. Namun demikian, sertifikat bahasa asing memang harus dimiliki karena untuk mendapatkan Letter of Acceptance (LoA) kampus tujuan dan melamar beasiswa pasti mewajibkan pelamarnya memiliki sertifikat kemampuan bahasa asing. Dengan kata lain, sertifikat penguasaan bahasa tidak bisa ditawar-tawar.

Bahasa Inggris adalah bahasa yang paling umum digunakan di universitas luar negeri, baik di English-speaking Country maupun di negara lain yang tidak berbahasa Inggris namun dalam pembelajarannya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Oleh karenanya, English Proficiency Certificate adalah sertifikat bahasa asing yang paling umum "diburu" para scholarship hunters. Dari semua tes bahasa Inggris, yang paling populer adalah IELTS dan TOEFL. Kedua jenis tes ini umumnya berlaku universal atau dapat digunakan untuk berburu LoA ke negara manapun yang mensyaratkan penguasaan bahasa Inggris sebagai admittance requirement-nya, walaupun beberapa sponsor beasiswa kadang mewajibkan IELTS atau TOEFL dalam proses seleksinya.

Umumnya (tapi tidak selalu), bagi mereka yang ingin melanjutkan studi ke United Kingdom (Inggris, Skotlandia, Wales dan Irlandia Utara) atau negara persemakmuran Inggris (seperti Australia) menggunakan sertifikat IELTS. IELTS sendiri dikelola oleh Cambridge Assesment, British Council, dan IDP. Perlu diketahui bahwa IELTS terdiri dari dua jenis tes, yaitu Academic dan General Training. Perbedaan mendasar keduanya terletak pada tujuan kita ke luar negeri. Jika kita hendak ke luar negeri untuk tujuan bekerja, atau kegiatan lain dalam konteks sosial dan praktikal yang tidak memerlukan penggunaan bahasa yang lebih teknikal dan kompleks, maka IELTS General Training adalah pilihan. Namun, jika tujuan kita adalah melanjutkan studi terutama pada level postgraduate atau untuk tujuan pembelajaran yang mensyaratkan pemahaman bahasa yang lebih teknikal dan kompleks, maka pilihannya adalah Academic Module. Karena saya ingin melanjutkan studi master ke UK, maka pilihan saya adalah IELTS Academic.

Apa itu IELTS?
IELTS (International English Language Testing System) sendiri adalah tes yang bertujuan mengukur kemampuan berbahasa Inggris seseorang melalui 4 skill dasar yaitu Listening, Reading, Writing, dan Speaking. Semua komponen kemampuan berbahasa masing-masing akan dinilai dan diberi skor dari 0 sampai 9. Setelah itu, keempat nilai akan dirata-ratakan sehingga didapatkan nilai keseluruhan yang juga terdiri dari rentang 0 sampai 9. Perbedaan dari tes IELTS Academic dan General Training terletak pada Reading dan Writing di mana pada IELTS Academic kedua komponen tersebut akan memiliki kompleksitas yang lebih tinggi dan lebih teknikal dibanding IELTS General Training.

Listening
Tes yang paling pertama dari IELTS adalah Listening. Bagian ini terdiri dari 4 section di mana tingkat kesulitan akan makin bertambah tiap sectionnya. Tiap section terdiri dari 10 soal sehingga totalnya adalah 40 soal yang dikerjakan dalam waktu sekitar 15 menit. Tiap soal hanya diperdengarkan sekali dan tidak akan diulangi. Jadi jika sudah lewat, there is no point of turning back. Namun setelah semua soal selesai diperdengarkan kita akan diberi waktu 10 menit untuk menyelesaikan soal-soal yang diberikan. Jadi jika ada soal yang terlewat, those last 10 minutes are your last bullets. Esensi dari listening ini adalah bagaimana kita dapat memahami percakapan atau monolog dari berbagai aksen termasuk British, Amerika atau Australia. Saya sendiri berlatih menggunakan aplikasi BBC Learning English yang menurut saya sangat membantu. Selain itu, saya sering menonton ulang film barat namun subtitlenya saya hilangkan. Saya sering menonton ulang film superhero Marvel karena di situ terdapat banyak artis dengan aksen-aksen yang berbeda. Chris Evans, Anthony Mackie atau Robert Downey Jr dengan aksen Amerikanya. Hayley Atwell, Tom Holland, Tom Hiddlestone, atau Benedict Cumberbatch dengan aksen Britishnya. Juga Chris Hemsworth dan Hugh Jackman dengan logat kental khas aksen Australia. Film-film seperti Harry Potter atau Sherlock Holmers juga sangat bagus untuk membiasakan diri dengan aksen British yang elegan dan klasik.

Reading
Bagian kedua adalah reading. Part ini juga terdiri dari  40 soal yang terbagi dalam 3 reading passage dengan tingkat kesulitan akan semakin berkembang dari reading passage 1 ke 3. Soal reading IELTS sangat variatif mulai dari mecocokkan, isian, pilihan ganda, mencari ide pokok, mengisi summary serta memilih pernyataan apakah True, False, atau Not Given (atau Yes, No, dan Not Given) yang harus diselesaikan dalam waktu 60 menit. Tidak ada penambahan waktu untuk menulis jawaban pada part ini seperti pada bagian listening. Sayangnya soal pilihan ganda hanya beberapa nomor saja, sehingga kita tidak bisa "menembak" opsi jika kita sama sekali tidak mengetahui jawaban pertanyaannya pada sebagian besar soal. Inilah salah satu komponen yang membedakan IELTS dengan TOEFL. Part ini menguji kita bagaimana memahami bacaan dan menemukan informasi secara cepat dan efektif melalui skimming atau scanning. Salah satu ciri dari Reading IELTS menurut saya adalah parafrase. Soal IELTS sering menggunakan kata-kata dan bahasa yang berbeda dengan yang terdapat pada reading passage tapi maknanya sama. Hal ini dimaksudkan untuk menguji kemampuan kita memahami bacaan termasuk di dalamnya kosakata dan grammar. Untuk menghadapi bagian ini, saya memperbanyak membaca buku, literatur, dan jurnal ilmiah berbahasa Inggris karena bacaan tersebut bersifat lebih teknikal dan kompleks dibanding bacaan populer pada umumnya.

Writing
Menurut saya sendiri dan bahkan sebagian besar orang yang pernah tes IELTS, bagian ini adalah yang paling tricky. Hal ini karena pada writing IELTS, kita tidak hanya sembarang menulis apalagi pada Academic module. Bagian ini menuntut bagaimana kita bisa menyampaikan suatu informasi secara terstruktur, padat, dan tidak hanya menggunakan bahasa yang monoton dan kosakata sederhana. Sedangkan sebagian besar orang Indonesia menurut saya tidak terbiasa menulis apalagi dengan academic writing. Pada writing IELTS kita dituntut dapat menulis dengan kalimat yang idenya terhubung dengan baik (coherence and cohesion) dan bukan hanya menulis sekumpulan kalimat saja. Selain itu, untuk mendapat nilai yang baik pada part ini kita dituntut dapat menulis kalimat-kalimat kompleks dengan kata-kata yang tidak hanya itu-itu saja (lexical resources). Kita juga harus memiliki kemampuan parafrase yang baik.

Bagian ini terdiri dari dua bagian yaitu Part 1 (20 menit) dan Part 2 (40 menit) dengan nilai part 2 adalah dua kali lebih banyak daripada nilai writing part 1. Pada Part 1 kita disuguhkan informasi dalam bentuk tabel atau diagram dan kita diharuskan menyampaikan informasi tersebut ke dalam bentuk tulisan minimal 150 kata dalam 20 menit. Di sisi lain, writing Part 2 menyuguhkan kita sebuah teks dan kita diminta untuk menanggapi ide tersebut, apakah kita setuju atau tidak, serta menyertakan bukti-bukti terhadap argumen kita. Bagian ini dikerjakan dalam waktu 40 menit dan kita diharuskan menulis minimal 250 kata. Perlu diketahui bahwa pada writing IELTS, peserta tes betul-betul menulis tangan dengan menggunakan pensil sehingga kejelasan penulisan perlu diperhatikan.

Speaking
Bagian ini adalah bagian terakhir dari serangkaian tes IELTS. Pada part ini kita akan benar-benar berbicara dan berkomunikasi dua arah dalam bahasa Inggris dengan seorang penguji yang adalah native speaker alias bule yang first languagenya adalah bahasa Inggris. Tes ini terdiri dari 3 part yang keseluruhannya dapat berjalan selama kurang lebih 15 menit. Pada part 1 kita akan berbincang-bincang mengenai topik-topik umum seperti nama, pekerjaan, riwayat pekerjaan atau studi. Pada Part 2 kita akan diberikan selembar kertas betuliskan sebuah informasi yang meminta kita itu untuk menjelaskan sesuatu. Setelah itu kita akan diberikan waktu 1 menit untuk mempersiapkan apa yang akan kita bicarakan lalu kemudian kita diberikan sekitar 2 menit untuk "berpidato" mengenai apa yang sudah diisntruksikan sebelumnya. Lalu part 3 kita akan masuk pada deep conversation yang masih ada hubungannya dengan topik dari part 2.

Pada bagian ini untuk mendapat nilai yang baik, kita diharuskan dapat berbicara secara fluent dan minim self-correcting serta bagaimana menyampaikan informasi secara terstruktur dengan bahasa yang tidak monoton dan memiliki perbendaharaan kosakata yang baik. Jika kita mampu berbicara dengan kalimat yang kompleks tanpa terbata-bata maka kita juga akan mendapat penilaian yang bagus.

Inti dari menghadapi tes IELTS adalah persiapan. Selain karena tesnya lumayan rumit, biayanya juga mahal yaitu sekitar 215 USD atau hampir 3 juta untuk sekali tes dan sertifikat tes hanya berlaku 2 tahun. Sehingga saya menyarakankan sebelum mengambil tes IELTS harus sudah disertai dengan persiapan dan planning yang matang apalagi jika hanya memilki budget terbatas seperti saya. Kebutuhan terhadap kursus IELTS menurut saya tergantung kapasitas masing-masing orang. Jika orang itu sudah terbiasa dengan literatur bahasa Inggris dan pada dasarnya memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik, maka bisa saja tidak perlu mengambil kelas persiapan IELTS. Tapi kembali lagi ke bagaimana kita mengenal kemampuan pribadi kita.

Saya sendiri belajar otodidak selama sebulan lebih sebelum mengambil tes IELTS. Untuk belajar dan mempersiapkan diri menghadapi IELTS saya menyarankan untuk menggunakan buku The Official Cambridge Guide to IELTS yang diterbitkan Cambridge University Press serta buku Cambridge IELTS Series. Menurut saya sendiri buku-buku tersebut sudah sangat representatif terhadap soal asli IELTS. Selain itu, dalam mempersiapkan tes akan lebih baik jika kita memiliki partner untuk menilai speking kita atau orang yang dapat menjadi proofreader untuk sampel-sampel tulisan kita.

At the end, dare to dream means dare to take action. Hope this writing will help those who are in the middle or about to start their journey abroad.

Fistra Janrio Tandirerung is a passionate Medical Doctor whose aim is to contribute in delivering good clinical practice, developing medical education, and research in Indonesia. He obtained his bachelor degree from Tadulako University School of Medicine in Palu City, Central Sulawesi in the middle of 2016. He also obtained his medical professional degree from the same institution 2 years later.


During his undergraduate study, he delivered his interest in education as a teaching assistant at the Department of Anatomy of Tadulako University. After completing his medical education, he undertake his clinical internship in his hometown at Lakipadada General Hospital and Puskesmas (Community Health Center) Ge`tengan.

He has been pursuing his dream to study abroad in order to encomplete his self with more advanced knowledge and skill to give more contribution to his beloved country, Indonesia. He`s been admitted to several prominent universities for his master study in the United Kingdom for Cardiovascular Science and Anatomy programmes where his interest lied. He also has been awarded Global Exellence Scholarship from one of the university he applied for. The universities he has admitted to are as follow:
- University College London (Cardiovascular Science)
-University of Glasgow (Cardiovascular Science)
-University of Bristol (Translational Cardiovascular Medicine)
-University of Aberdeen (Cardiovasular Science and Diabetes)
-Univeristy of Edinburgh (Human Anatomy)
-University of Sheffield (Human Anatomy with Education)
-University of Dundee (Humnan Anatomy)
-University of York (Clinical Anatomy and Education)

Not only for master programme, he also has admitted to a short course programme in KIT Royal Tropical Institute in Amsterdam, Netherland. He was offered to take short course in Health Policy and Financing. 

During his undergraduate study, he had been awarded Bidik Misi Scholarship from Indonesian Ministry of Research, Technology, and Higher Education. He has also been awarded Indonesian Education Scholarship from LPDP under Indonesian Ministry of Finance for his master degree. 

Upon the completion of his study, he would like to emphasize his work as a clinician, lecturer, and scientist in cardiovascular disease prevention and risk stratification as well as improving quality of life fo people suffering for cardiovascular disease trough clinical practice, medical education and research.
Subscribe to: Posts ( Atom )

ABOUT AUTHOR

Flag Counter

LATEST POSTS

  • Begini Cara Agar Diterima Oleh Universitas Luar Negeri
    University of Cambridge - Salah satu universitas terbaik di dunia Sudah lama saya ingin berkuliah di luar negeri. Buat saya pendidikan...
  • My LPDP Story - Pengalaman Mengikuti Seleksi Administrasi LPDP
    Dua cerita kegagalan dengan AAS dan Fulbright akhirnya membawa saya kepada LPDP. LPDP sebenarnya adalah beasiswa prioritas utama saya sejak...
  • Kuliah ke Luar Negeri Pakai TOEFL atau IELTS?
    Tes bahasa adalah syarat mutlak jika seseorang ingin melanjutkan sekolah atau bekerja di luar negeri. Tes ini sendiri bertujuan untuk menja...
  • My LoA Story - Akhirnya Saya Mendapatkan LoA
    Setelah semua persyaratan berhasil saya selesaikan, akhirnya saya mulai mendaftarkan diri saya ke berbagai universitas. Saya menyelesaikan ...
  • My LPDP Story - Pengalaman Menghadapi dan Tips SBK LPDP 2019
    Setelah berhasil melalui tahap administrasi, tembok kedua yang harus dihadapi dalam proses seleksi beasiswa LPDP adalah Seleksi Berbasis Ko...
  • My AAS Story : Menghabiskan Jatah Gagal
    Australia Awards Scholarship (AAS) adalah salah satu beasiswa luar negeri yang paling populer. Menurut saya ada banyak hal yang membuat...
  • My LPDP Story - Pengalaman Wawancara 2 LPDP 2019 di Makassar
    Tahap akhir dari seleksi LPDP adalah wawancara. Tahap wawancara adalah tahap paling krusial dari rangkaian seleksi beasiswa. Pada skema bea...
  • My Fulbright Story - Kegagalan Pertama Berburu Beasiswa
    Mengejar beasiswa penuh untuk studi lanjut memang bukan hal yang mudah. Dibutuhkan ketekunan, dedikasi, mental kuat yang siap menerima kega...
  • My LPDP Story - Pengalaman Wawancara 1 LPDP 2019 di Makassar
    Setelah melalui wawancara 2 serta verifikasi dokumen, jadwal saya selanjutnya adalah wawancara 1 pukul 16.20 tanggal 14 Agustus 2019. Jedan...
  • My IELTS Story - Berbagi Pengalaman Belajar Otodidak dan Tes IELTS di IDP Makassar
    Setelah saya dinyatakan lulus Ujian Kompetensi Dokter batch 4 tahun 2018 pada awal Desember 2018, saya langsung tancap gas untuk persiap...

Blogger templates

Instagram

Find me on Instagram @fistrajanrio

Blog Archive

  • November 2020 (1)
  • October 2020 (1)
  • January 2020 (1)
  • December 2019 (1)
  • November 2019 (3)
  • October 2019 (1)
  • September 2019 (8)
  • August 2019 (3)
  • July 2019 (3)
Powered by Blogger.

Search This Blog

Report Abuse

  • Home

About Me

My photo
Fistra Janrio Tandirerung
A passionte doctor with interest on health practice, education, and research. I made this blog to share valuable information and insights on important events and to help those who aspire for higher education abroad trough scholarship.
View my complete profile

Belajar IELTS Otodidak. Mungkinkah?

source: freepik.com Kemampuan berbahasa asing, terutama bahasa Inggris, adalah syarat mutlak untuk melanjutkan studi di luar negeri. Syarat ...

Contact Form

Name

Email *

Message *

Latest Posts

  • My LPDP Story - Pengalaman Menghadapi dan Tips SBK LPDP 2019
    Setelah berhasil melalui tahap administrasi, tembok kedua yang harus dihadapi dalam proses seleksi beasiswa LPDP adalah Seleksi Berbasis Ko...
  • My LPDP Story - Pengalaman Wawancara 2 LPDP 2019 di Makassar
    Tahap akhir dari seleksi LPDP adalah wawancara. Tahap wawancara adalah tahap paling krusial dari rangkaian seleksi beasiswa. Pada skema bea...
  • My LPDP Story - Pengalaman Mengikuti Seleksi Administrasi LPDP
    Dua cerita kegagalan dengan AAS dan Fulbright akhirnya membawa saya kepada LPDP. LPDP sebenarnya adalah beasiswa prioritas utama saya sejak...

Blogroll

Flickr

About

Copyright 2014 Fistra Janrio`s Self Discovery.
Designed by OddThemes